Seperti biasa sebelum memasuki inti cerita, saya ingin bercerita terlebih dahulu. Sudah lebih dari setahun sejak tulisan pertama saya yang berarti sudah lebih dari setahun pula saya bermigrasi penuh dari Windows ke Linux.
Sistem operasi berbasisi Linux yang pertama kali saya gunakan adalah Ubuntu, karena dari saran-saran yang saya baca, untuk pemula disarankan menggunakan Ubuntu. Setelah Ubuntu saya beralih ke Elementary OS, ya, memang Elementary OS masih berbasis Ubuntu, tapi bukan sekedar fork dan ditambah perangkat lunak ini itu, melainkan membangun perangkat lunak standar destop dan lingkungan destopnya sendiri. Setelah bosan dengan Ubuntu dan turunanya saya ingin mencoba Arch Linux.
Kenapa Arch Linux? Simpel jawaban saya waktu itu, biar bisa pamer, pada waktu itu masih jaman menggunakan distro yang tidak populer di kelas, ada yang menggunakan OpenSuse, BlackBox, Manjaro. Tetapi saya masih ragu untuk menginstall Arch Linux, karena saya masih berpikir “Ah, nginstall arch linux ribet banget, pake command-command nggak jelas”. Maka saya memutuskan menggunakan AntergOS, walaupun berbasis Arch Linux dan tetap mengadopsi sistem rolling release-nya, tetapi pemasangan AntergOS sudah menggunakan GUI, jadi nyaman. Saat ini lah yang menyebabkan saya jatuh hati pada Arch Linux (Padahal pake aja belum).
Lanjut, saya menggunakan distro manjaro karena ingin merasakan perbedaannya, setelah tahu perbedaanyya dan merasa sudah memahami tentang apa saja yang dibutuhkan untuk pemasangan Arch Linux, saya mulai memberanikan diri memasang Arch Linux. Saya memasang Arch Linux dengan archlinux bootstrap yang saya jalankan melalui bootable usb Ubuntu 16.04. Setelah selesai sampailah saya di dunia yang penuh dengan kegelapan. Petualangan pun dilanjutkan dengan memasang perangkat lunak lingkungan destop dan pemutar video dan beberapa perangkat lunak pendukung lain, maka jadilah sistem operasi yang sudah siap dipakai.
Hingga saat ini saya masih menggunakan Arch Linux, hanya saja berganti lingkungan, yang tadinya i686 menjadi x86_64, karena banyak perangkat lunak yang sudah tidak didukung untuk i686. Ini intinya, jika sekarang saya ditanya kenapa sih memakai Arch Linux, jawabnya mudah saja “Karena simpel” Iya simpel alias sederhana, misal saat ingin memasang perangkat lunak yang tidak ada di lumbung, tinggal cari di AUR dan pasang dengan yaourt, tidak perlu susah-susah menambahkan lumbung lain.
Perintahnya juga mudah $ yaourt -S {perangkat lunak yang ingin dipasang}
atau juga dapat meng-compile-nya langsung dari sumbernya. Dengan alasan itu juga kita menjadi paham apa saya yang terpasang di perangkat kita dan bila ada suatu masalah dapat lebih mudah menanganinya.
Sekian dari saya, selamat ngalong!